Sri Mulyani: Pidato Ketua MPR Zulkifli Hasan Bermuatan Politis dan Juga Menyesatkan

Nasional388 views
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (tengah) memberikan sambutan saat pidato kenegaraan di sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2018 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2017). Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato, yakni pidato kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun RI ke 73.
Jakarta, Stratak-News | Pidato Ketua MPR RI Zulkifli Hasan pada sidang tahunan MPR RI di Gedung Parlemen, 16 Agustus 2018 lalu, ditanggapi Menteri Keuangan Sri Mulyani.
 
Topik pidato Zulkifli yang direspons yakni soal rasio utang Indonesia yang dinilai tidak aman.
 
Respons Sri Mulyani secara khusus diungkapkan melalui akun Facebook resmi Sri Mulyani Indarwati, Senin (20/8/2018) pagi.
 
Berikut kutipan lengkap Sri Mulyani:
 
Tanggapan atas Pernyataan Ketua MPR “Pembayaran Pokok Utang Pemerintah Tidak Wajar”.
 
Ketua MPR dalam pidato sidang tahunan MPR 16 Agustus 2018 menyampaikan bahwa besar pembayaran pokok utang pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp 400 triliun yang 7 kali lebih besar dari Dana Desa dan 6 kali lebih besar dari anggaran kesehatan adalah tidak wajar.
 
Pernyataan tersebut selain bermuatan politis, juga menyesatkan. Berikut penjelasannya:
 
1.   Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu.
Sementara itu, 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management).
Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?
2.   Karena Ketua MPR menggunakan perbandingan, mari kita bandingkan
jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan anggaran Dana Desa. Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp 117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp 25,6 triliun.
Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat.
Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp 396 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp 107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali.
Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4 persen.
Bahkan tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp 122 triliun atau sebesar 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7 persen.
Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.
Mengapa pada saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?
Kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih 4 kali lipat dari 2009 ke 2018 menunjukkan pemerintah Presiden Jokowi sangat memperhatikan dan memprioritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia.
3.   Ketua MPR juga membandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa. Karena dana desa baru dimulai tahun 2015, jadi sebaiknya kita bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat.
Pada tahun 2018 rasio menurun 39,3 persen menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali.
Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR.
Jadi arahnya adalah menurun tajam, bukankah ini arah perbaikan? Mengapa membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar?
Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini adalah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar.
4.   Pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan sangat hati-hati (pruden) dan terukur (akuntabel).
Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3 persen per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara.
Defisit APBN terus dijaga dari 2,59 persen per PDB tahun 2015, menjadi 2,49 persen tahun 2016, dan 2,51 persen tahun 2017.
Dan tahun 2018 diperkirakan 2,12 persen, serta tahun 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR akan menurun menjadi 1,84 persen.
Ini bukti tak terbantahkan bahwa pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara profesional dan kredibel.
Ini karena yang kami pertaruhkan adalah perekonomian dan kesejahteraan serta keselamatan rakyat Indonesia.
5.   Defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Tahun 2015 defisit keseimbangan primer Rp 142,5 triliun, menurun menjadi Rp 129,3 triliun (2017) dan tahun 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp 64,8 triliun (outlook APBN 2018).
Tahun 2019 direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi hanya Rp 21,74 triliun.
Sekali lagi menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah dalam menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak.
Apakah ini bukti ketidak-wajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?
6.   Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak.
Bila tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49 persen (karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya), tahun 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7 persen!
Ini karena pemerintah bersungguh-sungguh untuk terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri.
Ini juga bukti lain bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang.
Hasilnya? Pemerintah mendapat perbaikan rating menjadi “investment grade” dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016.
Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?
7. APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta makin mandiri.
Komitmen dan kredibilitas pengelolan APBN ini sudah teruji oleh rekam jejak pemerintah selama ini. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benar dan akurat.
Satu jam semenjak Sri Mulyani mengunggah penjelasannya itu, unggahan tersebut sudah dibagikan sebanyak 2.067 kali, dikomentari oleh 650 akun dan mendapatkan respons emoticon oleh 3.528 akun.
Baca Juga:   PA 212 Gelar Aksi 21 Februari, Polri Minta Taati Aturan Menyampaikan Pendapat

Komentar